TARIAN SANGHYANG JARAN BALI UTARA
01 April 2021 08:30:16 WITA
Ritual ‘Ruwat Bumi’ pra Hindu di Punggung Pulau Dewata
Petang itu suasana tampak berbeda. Selepas merta Sang Hyang Indra yang membasahi Sang Hyang Pertiwi paska terbakar garangnya sang surya, di bawah naungan Sang Hyang Chandra yang mulai menunjukkan kemolekannya, sayup- sayup terdengar;
“Jaran dauk, anggonang ka tegal linggah, kalahin icang mengarit padang, kerengseng kedembuang, jagjagin jarane ilang”
“Jaran dauk, sasirikan maakin banyu, ikang banyu aruk tiang nunas ica, gendong langke jaran dauk”
Semakin lama, irama dan tempo koor tersebut semakin kencang. Inilah kidung pengiring untuk memanggil roh suci jaran atau kuda agar memasuki raga sang penari.
Tari Sanghyang Jaran merupakan salah satu tarian sakral khas masyarakat Bungkulan, terkhusus masyarakat Banjar Badung. Tarian ini memiliki makna spiritualitas dan religiusitas yang tinggi bagi pengemponnya. Tarian yang merupakan warisan pra Hindu ini biasanya dipentaskan bertepatan dengan upacara nangluk merana pada purnama sasih keenem. Seperti kita ketahui, pada sasih tersebut (biasanya bulan desember) merupakan masa pancaroba, perubahan musim yang ekstrem, dimana penyakit dan wabah akan menyelimuti bumi. Untuk mencegah penyebaran penyakit inilah, Sanghyang Jaran diturunkan atau napak pertiwi untuk menetralisir bumi yang sedang mengalami ketidakseimbangan. Pementasan atau istilah lokalnya disebut sebagai nuntun dilakukan selama dua hari yakni, sehari sebelum purnama dan tepat hari purnama. Selain purnama sasih kenem, tarian sakral ini juga sering dipentaskan pada kondisi-kondisi tertentu, semisal terjadi grubug, pabrebeh desa atau banjar dan sebagainya. Tari ini termasuk tarian wali karena memerlukan serangkaian upacara untuk mementaskannya.
Selama pandemi, tarian ini sudah setahun lebih tidak dipentaskan. Berkat izin dari berbagai pihak termasuk satgas Covid dan Desa Adat, Sanghyang Jaran akhirnya bisa napak pertiwi dengan tetap menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Pementasan kali ini bertepatan dengan purnama sasih kedasa yang dilangsungkan pada sabtu dan minggu, 27 dan 28 maret 2021. Pementasan kali pertama paska setahun lebih vakum karena pandemi, mendapat antusias yang luar biasa dari masyarakat. Selain warga Banjar Badung, pementasan kali ini juga disaksikan oleh warga dari banjar lain bahkan dari luar desa. Warga Bungkulan berharap pementasan ini bisa mendatangkan aura positif bagi kehidupan manusia.
Momen pementasan kali ini juga bertepatan dengan upacara Ngayu-Ayu Subak, dan pementasan Sanghyang Jaran seolah menjadi momentum dan harapan baru bagi masyarakat Bungkulan di tengah pandemi saat ini. Kedua tradisi yang berlafaskan budaya agraris ini menjadi tonggak baru bagi kehidupan masyarakat Bungkulan ke depan agar lebih maju, makmur dan terlepas dari berbagai petaka.
Tari Sanghyang Jaran yang berkembang di Banjar Badung, Bungkulan ini memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan Sanghyang Jaran di daerah lain, terutama Bali Selatan. Dalam ritual tari Sanghyang di Bali Selatan, penari biasanya menunggangi seekor kuda yang terbuat dari anyaman bambu (Picard, 2006). Sementara tari Sanghyang yang ada di Desa Bungkulan tidak menggunakan properti apapun. Kostum yang digunakan juga cukup sederhana. Penari yang biasanya dipilih berdasarkan keturunan ini hanya menggunakan badong, ampok-ampok, gongseng di tangan dan kaki, tanpa menggunakan baju. Sebelum pentas, tubuh penari akan dipolesi semacam tapak dara bebentuk tanda tambah yang terbuat dari pamor. Bagian tubuh yang polesi adalah punggung, kedua lengan tangan, kening dan dada. Penari tidak menggunakan kain atau kamen dan hanya menggunakan celana pendek berwarna gelap.
Pementasan Sanghyang Jaran dilakukan melalui serangkaian upacara yang kompleks. Sebelum pementasan dilakukan, biasanya para penglingsir atau kelian adat akan menghaturkan bakti piuning ke Pura Dalem Puri untuk memohon izin sekaligus meminta agar jaran atau kuda yang merupakan duwe niskala di pura tesebut berkenan hadir untuk napak pertiwi. Sore harinya, masyarakat mulai mulai berkumpul di pertigaan sebelah utara Bale Banjar Badung yang bertepatan dengan pemedal Pura Dalem Puri. Ritual diawali dengan persembahyangan bersama yang dipimpin oleh salah satu pemangku. Setelah sembahyang berakhir, penari sanghyang akan duduk bersila tepat di depan bangunan pelinggih padma. Di depan penari disiapkan pengasepan (terbuat dari tanah liat yang diisi dengan bara api) di atas sebuah dulang. Penglingsir kemudian memolesi tubuh penari dengan tapak dara yang telah disiapkan. Ketika bara api sudah dirasa siap, maka sekaa gending yang terdiri dari kelompok ibu-ibu, bapak-bapak dan teruna teruni, mulai melantunkan nyanyian pemanggil roh sang Jaran untuk segera memasuki tubuh penari. Semakin lama tempo dan irama nyanyian semakin kencang,nSang penaripun mulai kehilangan kesadaran dengan mengepak-ngepakan badannya layaknya seekor kuda. Semakin lama, tubuh penari semakin kehilangan kontrol dengan kepakan semakin menjadi. Puncaknya, sang penari akan mengulurkan telapak tangannya ke bara api yang telah disediakan secara membabi buta. Seketika penari mulai tak sadarkan diri dan jatuh terbaring di tengah arena pementasan. Kondisi terbaring sang penari menandakan pementasan akan segera dimulai.
Seeka gending kembali melantunkan bait demi bait untuk mengiringi Sanghyang Jaran napak pertiwi. Sanghyang Jaran baru akan beraksi ketika lagu sudah dimulai. Kekidungan yang digunakan menggunakan kekidungan khas yang hanya ada di Banjar Badung. Setidaknya terdapat 9 bagian kekidungan yang masing- masing terdiri 3 sampai 8 bait. Bagian pertama merupakan bagian penuntun, yang dinyanyikan saat prosesi pemanggilan roh Sanghyang Jaran. Bagian ke dua berjudul ‘Ketut Bangun’, ke tiga ‘Ketut Jalan Luas’, ke empat ‘Men Brayut’, ke lima ‘Nyrengseng Kauh’, ke enam ‘Ketut Jalan Singgah’, ke tujuh ‘Ajar-Ujur’, ke delapan ‘Ketut Elingan Tyang’ dan ditutup dengan ‘Sami Pada Girang’. Dari rangkaian judul-judul kidung tersebut dapat ditafsirkan bahwa ‘Ketut’ panggilan sang Sanghyang Jaran dibangunkan untuk diajak meliang-liang atau melila cita atau jalan-jalan, kemudian diakhiri dengan harapan semua senang, bahagia (pada girang). Bahasa yang digunakan juga cukup sederhana, bahasa sehari-hari masyarakat Bungkulan. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa kesenian ini sudah berkembang sebelum Hindu (formal) masuk ke Desa Bungkulan. Kesederhanaan bahasa dengan minimnya penggunaan basa singgih menandakan bahwa pada awal terbentuknya tradisi ini masyarakat belum terkontaminasi dengan kooptasi ajaran Hindu yang ketat dengan pelapisan sosialnya termasuk hubungan dengan Tuhan. Roh suci Sanghyang Jaran diperlakukan bak teman atau adik yang sedang diajak bermain dengan panggilan khasnya ‘Ketut’. Kesederhanaan liriknya juga dapat dilihat dari beberapa nama orang asli Banjar Badung yang disebutkan dalam beberapa baitnya seperti, Made Toya, I Cikra, I Sedana, Ketut Armaya, Made Darwi, I Sudika, Luh Perami dan sebagainya. Kesederhaan ini dapat dipahami sebagai salah satu ritual yang dekat dengan masyarakat, mudah dipahami, dan ritual yang cukup merakyat.
Setelah beberapa bait berlalu, sang penari kembali akan menghampiri pelinggih padma sebagai tanda beliau merasa lapar. Petugas dengan sigap mengambil ajengan yang ada di Padma untuk diletakkan di tengah arena. Sesaat setelahnya, sang Jaran meliuk-liuk mendekati ajengan yang disediakan kemudian menyantapnya bak Kuda yang sedang kelaparan. Setelah menyelesaikan santapannya, sang Jaran kembali tergeletak lemas di tengah arena yang berarti sesi pertama sudah selesai dan siap menuju sesi berikutnya. Sang juru gending kembali menjalankan tugasnya untuk mengiringi Sanghyang Jaran meliang-liang. Biasanya pada sesi ini, penari akan lebih agresif dan tidak segan-segan menerobos barisan para krama banjar yang bertugas. Tenaga yang dikeluarkan cukup dahsyat sehingga diperlukan kesigapan krama Banjar untuk menjaga sang penari agar tidak keluar dari arena pementasan. Sanghyang Jaran ini sangat sensitif dengan cahaya. Ia tidak segan-segan menyeruduk penonton atau siapapun yang kedapatan menyalakan rokok ataupun menghidupkan handphone, bak banteng yang dikibasi kain merah dalam tradisi Matador di Amerika Latin. Semakin lama, pementasan akan semakin riuh yang ditandai dengan meningkatnya agresivitas sang Jaran. Pemetasan diakhiri dengan penari berjalan menuju pelinggih padma dengan mencakupkan kedua tangannya dan seketika abruk terjatuh ke tanah. Ini tanda sang roh Jaran sudah meninggalkan tubuh penari dan penari tak sadarkan diri hingga pemangku memercikinya dengan Tirta.
Menurut kepercayaan masyarakat Banjar Badung sebagai pengempon tradisi sakral ini, tedapat dua jenis jaran atau kuda yang bisa dipanggil untuk napak pertiwi yakni Jaran Gading (kuda kuning) dan Jaran Gadang (kuda hijau). Kedua jenis kuda ini memiliki karakter yang cukup beda. Menurut pendapat beberapa penglingsir, jaran gading melinggih atau berstana di Pura Dalem Puri, sementara Jaran Gadang melinggih di Pura Dalem Purwa. Belakangan ini roh jaran yang ditunas atau dituntun adalah jaran gading karena memiliki karakter cukup kalem dan tidak agresif. Sementara karakter Jaran Gadang memiliki agresivitas sangat tinggi dengan kekuatan yang dahsyat. Penglingsir menuturkan, pernah dahulu sanghyang Gadang dituntun, dan hasilnya cukup melelahkan krama karena agresivitasnya. Bahkan, sang Jaran Gadang berlarian sampai ke Banjar lain secara membabi buta hingga cukup membuat krama kelimpungan. Selain itu, sang Jaran Gadang juga tidak segan-segan mengruduk siapapun yang menyalakan api atau lampu secara membabi buta. Untuk menghindari hal-hal di luar kendali inilah, krama memutuskan hanya menuntun sanghyang Jaran Gading karena dirasa lebih aman. (Budarsa)
.
.
.
.
.
Terimakasih atas beberapa pihak yang telah membantu dan memberikan izin untuk melakukan pendokumentasian Tarian Sakral Sanghyang yg selama ini menjadi kepercayaan masyarakat setempat.
.
.
.
.
.
.
.
.
(Foto diambil oleh iwan & tim Pendokumentasian Desa)
Komentar atas TARIAN SANGHYANG JARAN BALI UTARA
Formulir Penulisan Komentar
Layanan Mandiri
Silakan datang / hubungi perangkat Desa untuk mendapatkan kode PIN Anda.
Masukkan NIK dan PIN!
Komentar Terkini
Statistik Kunjungan
Hari ini | |
Kemarin | |
Jumlah Pengunjung |
- SELAMAT MENYAMBUT HARI NATAL DAN TAHUN BARU 2025
- Penyaluran BLT Dana Desa Periode Bulan Desember Sebanyak 16 Keluarga Penerima Manfaat
- PENYALURAN PBP BAPPEDALITBANG KABUPATEN BULELENG UNTUK 243 KEPALA KELUARGA DI DESA BUNGKULAN
- Apresiasi Ibu dan Balita Rajin Hadir Setiap Bulan Ke Posyandu Selama Tahun 2024.
- Kunjungan Validasi Gizi Pengukuran Berat Badan dan Tinggi Badan Balita di Banjar Sema
- Fogging di Wilayah Banjar Dinas Ancak Pemdes Bungkulan Himbau Mayarakat Bersama Menjaga Lingkungan
- SINGA PINTER TRANSFORMASI DIGITAL PELAYANAN PUBLIK KABUPATEN BULELENG